Virtual Address
Search Engine Google, Bing, Yahoo, Baidu, Yandex and Duckduckgo
Zaman perundagian merupakan zaman manusia purba di Indonesia telah mengenal logam sebagai alat bantu kehidupan. Zaman ini dimulai 10.000 tahun lalu pada masa neolitik (zaman batu muda) dan juga mendekati zaman logam.
Bagaimana kehidupan sosial-ekonomi di zaman perundagian? Seperti apa kepercayaan yang dianut di zaman itu? Apa benda-benda yang dihasilkan manusia purba pada saat itu?
Untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan di atas, simak ulasan sejarah zaman perundagian di Indonesia di bawah ini.
Perundagian merupakan kata yang berasal dari kata dasar ‘undagi’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), undagi berarti tenaga ahli. Undagi juga diartikan tukang atau orang yang memiliki keterampilan tertentu.
Masyarakat undagi sudah bekerja sesuai dengan keterampilannya masing-masing. Hal ini berarti spesialisasi (pembagian) kerja pada saat itu sudah cukup maju.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, masyarakat undagi telah mengenal logam. Mereka menemukan bijih-bijih logam yang meleleh di permukaan tanah. Bijih-bijih logam inilah yang dijadikan mereka ‘bahan baku’ pembuatan alat-alat yang digunakan untuk menunjang kebutuhan sehari-hari.
Pada zaman undagi, masyarakat antar ras juga telah membaur satu sama lain dalam kehidupan sosial. Adapun ras yang dimaksud di antaranya Austromelanesia, Mongoloid dan Manusia Purba. Pembauran ini berdampak pada kemunculan teknologi logam kuno.
Adapun teknologi logam kuno di Indonesia, pada zaman itu, dipengaruhi oleh budaya Vietnam. Hasil tekonologi ini kemudian kita kenal dengan sebutan Budaya Dong Song.
Kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat zaman perundagian sudah mengalami kemajuan dibandingkan zaman sebelumnya. Di bidang sosial, masyarakat undagi telah membentuk norma dan nilai sebagai pedoman hidup. Norma dan nilai ini dibentuk, disetujui dan diterapkan oleh masyarakat itu sendiri. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa masyarakat undagi saat itu sudah mengenal sistem kemasyarakatan yang lebih teratur.
Di samping itu, masyarakat undagi juga sudah mengenal kepemimpinan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya kuburan-kuburan yang diiringi sejumlah bekal-bekal mewah bagi mayat di dalamnya. Model kuburan ini hanya diterapkan oleh para pemimpin pada zaman itu. Sebaliknya, kuburan-kuburan orang biasa tidak ditemukan bekal-bekal mewah itu.
Di bidang ekonomi, masyarakat undagi telah mengenal sistem pembagian kerja dalam pembuatan benda-benda dari logam. Hal ini diketahui dari pengerjaan benda-benda dari logam yang membutuhkan keahlian khusus. Sehingga, tidak semua masyarakat dapat membuat benda tertentu dari logam. Lebih lanjut, masyarakat undagi juga telah mengenal sistem jual beli secara sederhana. Hal ini diketahui dari adanya pedagang yang memperjualbelikan logam.
Di sisi lain, sistem pertanian pada zaman perundagian telah mengalami kemajuan. Dengan kata lain, ketertarikan masyarakat kala itu terhadap berburu atau mengandalkan makanan dari alam sudah semakin berkurang, dan lebih mengandalkan bertani.
Cara bertaninya pun menggunakan metode bersawah, bukan berhuma lagi. Adapun perbedaannya ialah berhuma selalu meninggalkan tempat olahan jika tanahnya sudah tidak subur, sehingga masyarakat kala itu hidup tidak menetap. Sementara bersawah tidak menuntut masyarakat undagi untuk berpindah-pindah karena tanah yang dijadikan untuk bertani selalu dalam keadaan subur. Hal ini dikarenakan masyarakat undagi sudah menggunakan pupuk untuk pertanian.
Adapun bukti sistem pertanian pada zaman perundagian telah mengalami kemajuan ialah ditemukannya alat-alat pertanian dari logam, seperti bajak, pisau dan lainnya.
Masyarakat undagi menganut dua kepercayaan, yakni animisme dan dinamisme. Dalam kepercayaan animisme, masyarakat undagi percaya bahwa suatu benda memiliki kekuatan supranatural dalam bentuk roh. Mereka percaya bahwa roh-roh itu bisa dipanggil jika dibutuhkan.
Kepercayaan ini membuat masyarakat undagi memuja dan menghormati roh-roh itu. Caranya ialah memberikan sesajen atau seseharan pada benda-benda yang diyakini dihuni roh tersebut.
Sementara dinamisme merupakan bentuk perkembangan dari anismisme. Jika dalam animisme memercayai adanya roh di suatu benda, dinamisme memercayai roh bersemayam di suatu tempat, sepeti sumber mata air, gua, hutan belantara, persimpangan jalan dan lainnya. Roh-roh itu juga dipuji dan dihormati dengan cara memberikan sesajen.
Masyarakat undagi sudah bisa membuat benda-benda perunggu. Perunggu merupakan logam campuran tembaga dan timah putih. Adapun perbandingan campuran ini 3 (tembaga) : 10 (timah putih), sehingga diperoleh logam yang lebih keras.
Berikut benda-benda peninggalan pada zaman perundagian:
Kapak corong merupakan kapan berbentuk corong yang dibuat dari perunggu. Kapan ini juga disebut kapak sepatu karena bentuknya seperti sepatu. Kapak corong ditemukan di Sumatera Selatan, Bali, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Papua.
Bejana ini memiliki bentuk kepis atau semacam bakul kecil yang digunakan untuk wadah ikan. Bejana ditemukan di Madura dan Sumatera.
Masyarakat undagi sudah memiliki keterampilan untuk memproduksi perhiasan. Perhiasan ini berupa gelang tanga, gelang kaki, cincin maupun kalung. Menariknya, perhiasan ini ada yang diberi pola agar tampak lebih indah.
Ditemukan pula, pada zaman perundagian, cincin yang berfungsi tidak sebagai perhiasan melainkan alat tukar. Cincin ini berukuran sangat kecil, bahkan tidak bisa dimasukkan pada jari anak-anak.
Adapun tempat ditemukannya perhiasan di antaranya Bogor, Bali dan Malang.
Arca juga menjadi salah satu benda peninggalan zaman perundagian yang terbuat dari perunggu. Arca ini berbentuk manusia dan hewan.
Adapun arca yang berbentuk manusia ‘berpose’ menari, memanah, berdiri dan naik kuda. Sementara arca berbentuk hewan berupa kuda dengan pelana dan berdiri dan kerbau berbaring.
Arca-arca ini ditemukan di Bangkinang (provinsi Riau), Palembang, Lumajang dan Bogor.
Itulah ulasan tentang sejarah zaman perundagian di Indonesia. Semoga ulasan ini dapat memberikan pengetahuan dan wawasan baru untuk kita semua.